Wednesday 10 August 2016

Esensi Pernikahan


Dari sejak dilahirkan hingga saat ini, (hampir) semua orang mengenal agama dan budaya disertai segala bentuk aturan yang mengikatnya. Personally, aku yakin setiap orang memiliki perspektif masing-masing dari kepercayaan yang diakuinya. Salah satu jenis campur tangan agama dan budaya adalah mengatur pernikahan yang sudah gamblang tertulis di kitab suci masing-masing. Sebenarnya esensi pernikahan itu apa sih?


Esensinya, pernikahan itu sendiri.

Sekarang sedang gembar-gembornya slogan "ayo nikah muda" di berbagai sosial media. Aku sering sekali membaca iming-iming betapa nikmatnya jika menikah di usia muda. Yep, aku termasuk perempuan yang membantah slogan itu. Alasannya? Karna apa yang tertulis dari slogan itu benar-benar menjauhi esensi dari pernikahan itu sendiri.

1. "Mending nikah muda daripada berzinah".
Dari segi agama, bahkan agama yang aku anut, hal ini bisa saja dibenarkan. Dari segi budaya, apalagi budaya timur, sebagian orang 'kita' menganggap tabu hal-hal yang berada di luar batas.
But, here's my opinion, jika tujuan 'nikah muda' —hanya— untuk menjauhi perzinahan, you're totally wrong! Kenapa? Pernikahan bukan hanya sekedar  sentuhan fisik apalagi selangkangan boss. Lucunya, slogan ini seolah menggambarkan pemuda-pemudi —now a days— yang lepas kontrol atau kasarnya 'horny-an'. Really?? Kalau hanya itu yang berada di pikiran pemuda-pemudi masa kini, sepertinya guru-guru Agama dan Pkn sudah gagal mengajarkan bab Tanggung Jawab kepada mereka. Aku sendiri melihat kasus ini meringis sekaligus tertawa. Ada apa dengan syahwat para pemuda-pemudi kita ini yang memilih menikah —hanya— dengan satu alasan itu saja? Personally, aku sebagai perempuan terkadang kasihan mendengar curhatan beberapa teman yang menikah muda. Beberapa dari mereka bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang jauh dari ekspektasi awal. Dalam pernikahannya, ada yang menjadi korban pelecehan seksual hingga marital rape oleh suami maupun istrinya sendiri. Terkadang si istri sedang tidak mau bergaul tapi sang suami memaksa, begitu juga sebaliknya. Jika ada salah satu yang tidak mau melakukan itu, jatuhnya sudah pemerkosaan (hanya saja dilindungi dengan ikatan pernikahan). Seks itu selalu didasari atas rasa suka sama suka, dan sama-sama mau, bukan begitu? Menikah hanya untuk berhubungan seks benar-benar hal yang sangat konyol. Menikah bukan hanya untuk ena' ena' melulu lho!

2. "Mending merintis bareng-bareng dari nol biar terasa perjuangannya, makanya ayo nikah muda!"
Lol, di Indonesia bahkan di dunia, faktor ekonomi menjadi penyebab paling tinggi dalam kasus perceraian. Memang kalimat 'merintis dari nol' itu terdengar manis, ya? But, no! Tidak ada perempuan bahkan laki-laki yang mau menurunkan standar hidupnya kecuali terpaksa. Iya? 'terpaksa' loh. Sudah terdengar tidak enak ya buat kelangsungannya? Waduh ko matre sih? No no no, kita semua harus realistis dengan keadaan ekonomi kita saat ini, kredit rumah tidak lagi 70ribu/bulan, belum lagi kebutuhan sandang dan pangan, transportasi, bahkan traveling (ini sangat dibutuhkan karena hidup perlu  di-refresh dan tiap-tiap orang memerlukan hiburan). Karna selain aspek internal, aspek eksternal juga menjadi  sarang kebahagiaan dalam berumah tangga bukan? Jadi, udah yakin mau bersama merintis dari nol? Kalau masih mau ngebet nikah, minimal sang suami (ia adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam keluarga) itu sudah mapan. Mapan bukan berarti kaya, mapan disini ia sudah sanggup menghidupi diri sendiri dan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.

3. "Nikah muda kan enak, ntar umurnya ga jauh beda sama anak, bisa dekat seperti sahabat jadi kalau nongkrong bareng masih bisa nyambung"
Seriously? Umur tidak pernah menjadi halangan apapun (kecuali konsumsi makanan yang sudah tidak sebebas dulu kali ya ). Aku juga heran dengan orang yang menjadikan alasan ini sebagai niatan untuk nikah muda. Setua apapun orang tuaku, nenek kakekku, mereka masih bisa nongkrong dengan anaknya. Mereka masih dekat dan berbagi apapun dengan anaknya seperti sahabat. Masalahnya bukan ada di jarak umur antara si orang tua dengan anak, tapi pendekatan dengan anak itu sendiri. Janganlah menjadikan ini sebagai alasan, bagaimana jika nyatanya anakmu itu tidak mau bersahabat denganmu bahkan menyatakan dirimu 'tidak nyambung' dengan diri mereka karena 'sok merasa muda' dan terlalu ikut campur dengan urusan 'nongkrong-nongkrongnya'. Mendekatkan diri bukan mendekatkan umur .

Menurutku pemikiran-pemikiran seperti itu sudah membuktikan bahwa mereka sendiri yang menyatakan diri bahwa mereka belum siap. Memang menurut undang-undang pernikahan, negara melegalkan umur pernikahan untuk laki-laki minimal 19 tahun, sedangkan perempuan 16 tahun. Bahkan di umur 16 tahun (untuk perempuan), kesehatan reproduksi itu masih rentan. Selain itu, seseorang baru bisa dikatakan dewasa dan matang pemikiran serta emosinya biasanya di atas umur 25 meskipun ada beberapa orang yang sudah menyatakan siap di bawah umur tersebut. Menurutku, tergantung pengalaman dan pembelajaran dari masing-masing orang sih, kita juga perlu mengenal lingkungan seperti apa yang membentuknya. Nyatanya di umur 20-an awal, emosi seseorang masih dibentuk dan belum stabil, sehingga banyak sekali ledakan-ledakan emosi bahkan drama yang mungkin terjadi dalam keluarga (ga usah jauh-jauh cari fakta, cukup perhatikan status facebook, twitter, dan update segala sosmednya, kebanyakan masih kurang stabil mengelola emosinya bahkan ada yang sampai meledak-ledak) noted: saat menulis ini usiaku 22 tahun, lihat betapa meledak-ledaknya tulisanku ini.

Dalam berumah tangga, masalah akan selalu datang terus menerus tidak kenal permisi. Kita sangat perlu menyiapkan diri dengan matang jika ingin melangkah ke tingkat yang lebih tinggi seperti pernikahan. Karena pernikahan merupakan keputusan yang akan diambil seumur hidup (jika melihat janji pernikahannya). Apa sudah yakin dia bisa mengimbangimu atau sebaliknya deh, apakah dirimu siap mengimbanginya? Memang akan seribet itu 

4. "Mending nikah muda daripada nikah tua, kalau nikah tua nanti hamilnya rentan, kasian kan"
Dari semua alasan konyol di atas, alasan ini yang buat aku berpikir. Mungkin menurut ilmu kesehatan ini bisa saja dibenarkan, bisa juga tidak. Melihat fakta di lapangan, masih ada beberapa perempuan yang hamil di usia 30 dengan kondisi sehat dan segar bugar tapi ada juga yang tidak sesehat perempuan yang hamil di kepala dua. Mungkin ini tentang bagaimana cara kita merawat dan menjaga diri masing-masing karena berbagai kemungkinan akan selalu ada. We never know.

5. "Mau emang jadi perawan tua?"
Menikah itu adalah pilihan. Setiap orang boleh mengambil kesempatan itu, boleh juga tidak. Tapi, kebanyakan orang sangat ingin melanjutkan keturunan apalagi melihat adat dan budaya kita. Masih ada yang melarang anak gadisnya menikah terlalu tua hingga muncul label 'perawan tua'. Seriously, banyak dari kita yang belum menghargai keputusan orang lain dan menganggap tabu hal-hal yang berbeda dengan kebiasaannya. Jika menyinggung hal ini pada orang yang punya niatan menikah, kalimat itu akan sangat menyakiti hatinya, begitu juga dengan orang yang memilih untuk tidak menikah, apakah keputusan orang itu salah?

Menikahlah karna sudah siap, karna sanggup, karna yakin, karna butuh. Karena menikah bukan hanya soal cinta, seks, ucapan-ucapan manis, apalagi umur. Ada hal besar lainnya yang harus dipertimbangkan bukan karena hal-hal konyol yang begitu delusional. Agama dan budaya juga sama-sama berisi tanggung jawab. Ya, meskipun ingin menikah muda, setidaknya aspek-aspek yang dibutuhkan sudah bisa terpenuhi dan dipertanggungjawabkan, ya? 

Rasa 'cinta' itu bisa kadaluwarsa seiring berjalannya waktu. Yang tersisa dari pernikahan itu hanya tentang komitmen dan rasa sayang dari kedua belah pihak. Bahkan untuk saat ini, seringkali kita senang mengucapkan selamat pagi atau selamat malam pada pasangan, semakin lama ucapan-ucapan itu bukan lagi didasari karena cinta tapi karna kebiasaan. Untuk itu sangat dibutuhkan emosi dan pemikiran yang matang untuk melangkah menuju pernikahan. 

4 comments:

  1. so true! people need to open up their mind and start to think more and wider :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Agree! One thing they can mean is, "I really like this relationship and want it to continue." However, commitment is more than just that.

      Delete
  2. This is sooo me! Tujuan nikah kan untuk meningkatkan kualitas hdup. Bkn sekedar legalisasi seks. Klo nikah ngajak susah, yg kasian bkn cm istrinya, tp anaknya juga kelak. Masa tega bawa2 anak ikutan susah? Hehehe

    ReplyDelete
  3. Menulislah dengan netral dan bijak.
    Warm regards,
    Liem

    ReplyDelete

© Asri Nuranisa Dewi
Blogger Template Designed by pipdig